B. Indonesia

Pertanyaan

Buat cerita fantasi bersama dengan strukturnya , minal 4 paragraf !

1 Jawaban

  • Menara Tengah Hutan

    Akan kuceritakan padamu sebuah kisah. Kisah tentang penderitaan. Kisah tentang keyakinan dan keberanian, tentang harapan dan usaha. Kisah tentang kebebasan. Kau akan merasa seperti pernah mendengar kisah ini entah di mana, tetapi itu bukan masalah. Akan tetap kuceritakan padamu.

    Tersebutlah sebuah keluarga. Keluarga peri, sepasang suami-istri dengan seorang anak gadis. Setengah abad telah berlalu semenjak anak gadis tersebut lahir, lebih tepatnya 55 tahun. Gadis peri yang dinamakan Jelita tersebut kini sudah bisa dianggap dewasa, bahkan sudah lima tahun melewati batas dewasa. Namun malang melanda keluarga tersebut, karena sang ayah dikabarkan sekarat tepat saat perayaan ulang tahun Jelita ke-55; sekarat setelah mengabdi di barat jauh menghalau Pasukan Putih.

    Setelah dipulangkan, tak lama sang ayah meninggal. Jelita dan ibunya hanya bisa bersedih di pemakaman ayahanda, tetapi tidak lebih bagi Jelita. Karena jiwa peri tidak akan pergi meninggalkan Cakrabuana, Lingkaran Dunia, tidak seperti hewan. Namun ibunda Jelita ternyata sedih berkepanjangan sehingga kini dirinya sekarat. Ya, sekarat karena bersedih: bangsa peri bisa meninggal dari tiga hal, yaitu luka parah, kelaparan dan sedih mendalam, tetapi tidak dari umur.

    Melihat keadaan ibunda Jelita urung bergeming. Tidak akan ia biarkan orang tua satu-satunya pergi ke Aula-aula Surgawi. Tidak dengan kesedihan. Oleh karena itu, atas izin Yang Satu, Jelita teringat pada peribahasa yang pernah ibunda katakan dua puluh tahun lalu.

    Seorang ibu sangat mengerti cara hilangkan sedih putrinya.

    Jelita simpulkan bahwa yang mengerti kesedihan ibu adalah ibu dari ibunda, yaitu nenek. Nenek Jelita, sepengetahuannya, adalah seorang penyihir. Umum diketahui bahwa penyihir-penyihir semuda neneknya masih mengabdi di menara-menara yang terletak di tengah hutan, dan karena itu Jelita belum pernah mengenalnya secara dekat.

    “Di manakah nenek mengabdi, Ibu?”

    Di kamar tersebut, yang jendelanya menghadap taman bunga sederhana, lirih ibunda menjawab. “Hutan Embun Perak. Menara Penyihir.”

    “Tenang, Ibu, aku akan menemui Nenek agar Ibu sembuh.”

    “Tidak perlu!” sergah ibunda. “Biarkan Ibu bersama Ayah.”

    “Tidak, Ibu!” Jelita tak mau kalah. “Ibu tidak perlu menderita seperti ini. Aku akan temui Nenek, lalu semua akan baik-baik saja.”

    Ibunda Jelita pun terlihat menyerah. Ia memejamkan mata dan berpaling. Melihat ini, Jelita beranjak keluar kamar. Tepat di ambang pintu sang ibu menyahut. “Jelita,” katanya. Jelita berhenti dan menoleh. “Semoga keputusanmu benar.”

    Begitulah, dengan berkah ibunda dan sebuah kalung warisan yang akan membuat Nenek mengetahui siapa dirinya, Jelita beranjak ke Hutan Embun Perak. Hutan tersebut berada di seberang timur dari kota Jelita tinggal, tidak sampai sehari perjalanan. Ia telah menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk perjalanan ke sana, mulai dari air minum sampai kuda. Penduduk sekitar tidak terkejut melihat apa yang ia lakukan, karena mereka tahu darah keluarga sang ayah mengalir di dirinya. Darah Jagawana Barat yang tangguh dan tangkas. Namun bukan berarti tidak ada yang menawarkan diri menemaninya. Hanya saja Jelita tidak ingin ditemani, karena baginya ini kesempatan untuk mengenal Nenek secara pribadi.

    Seorang pemburu tidak hirau. Jelita tidak tahu akan hal ini.

    Menembus hutan, kira-kira seperempat hari perjalanan, Jelita terpaku di sebuah percabangan. Jalan yang dilaluinya kini terbelah dua,

Pertanyaan Lainnya