Bagaimana kedudukan BW(burgerlijk wet boek)sekarang?apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai kitab uu di negara indonesia?sesuai dengan surat edar
PPKn
niputuayu81
Pertanyaan
Bagaimana kedudukan BW(burgerlijk wet boek)sekarang?apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai kitab uu di negara indonesia?sesuai dengan surat edaran mahkamah agung 3 1963
1 Jawaban
-
1. Jawaban Anonyme
Mr. Sahardjo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman pernah melontarkan bahwa BW (KUH Perdata) itu hanya dianggap sebagai Recht Boek, bukan Wet Boek. Akan tetapi pandangan itu ditentang keras oleh R. Subekti yang tetap berpandangan bahwa BW tetaplah Wet Boek, karena dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), jelas disebutkan bahwa sepanjang ketentuan dalam Buku II BW yang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan yang terkandung didalamnya, dicabut kecuali ketentuan mengenai hipotik (hypotheek).[9] Sri Soedewi Majchun Sofwan mengatakan terdapat 3 (tiga) konsekuensi sejak diundangkannya UUPA bagi Buku II BW, yaitu : Pasal-pasal yang masih berlaku penuh; Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi; dan Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh.[10] Semua pasal yang merupakan pelaksanaan atau bertalian dengan pasal-pasal yang tidak berlaku itu meskipun tidak tegas-tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II BW.[11]
Sedikit demi sedikit, pasal-pasal yang ada dalam BW dipreteli satu per satu. Setelah berlakunya UUPA, giliran selanjutnya yaitu terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 perihal Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang. Beberapa pasal dipandang sudah tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108-110 BW; (b) Pasal 284 ayat (3) BW; (c) Pasal 1682 BW; (d) Pasal 1579 BW; (e) Pasal 1238 BW; (f) Pasal 1460 BW; dan juga (g) Pasal 1603 ayat (1) dan (2) BW.
Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi pengadilan di Indonesia.
Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband dalam BW. Dan masih banyak lagi perubahan ketentuan yang terdapat dalam BW sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat saat ini.